Mitos Tradisi Kliwonan di Alun alun Batang

Table of Contents
Tradisi malam Jumat Kliwon atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kliwonan berkaitan dengan cerita rakyat atau legenda dari daerah setempat yaitu Kabupaten Batang. Pada mulanya tradisi ini diadakan dengan maksud untuk mengenang jasa leluhur dan nenek moyang Batang yang dulunya telahmembangun daerah Batang. Tradisi Kliwonan yang dulunya digunakan untuk ajang melakukan ritual-ritual sederhana kemudian berkembang seperti sekarangini. Kliwonan di daerah Batang mengalami perubahan dari bentuk dan fungsi yang secara sesungguhnya. Pada awalnya Tradisi Kliwonan merupakan sarana atau tempat pengobatan bagi orang sakit. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang mencakup multi dimensi, tradisi Kliwonan mengalami perubahan fungsi menjadi sebuah pasar yang sering disebut dengan pasar kliwonan. Tradisi kliwonan ini diselenggarakan di alun-alun Kota Batang setiap 35 hari sekali atau disebut selapan dina menurut perhitungan Jawa tepatnya pada malam Jumat Kliwon

Tradisi Kliwonan Batang

Mitos Kliwonan Batang


Menurut cerita Tradisi Kliwonan pada masa itu bermula ketika pada jaman pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram, Batang dahulu masih berupahutan-hutan besar dan luas yang disebut Alas Roban. Di Alas Roban ini ada sekelompok perampok yang sangat berbahaya dan selalu meresahkan masyarakat setempat, kadang juga mengganggu orang-orang yang lewat di daerah tersebut.Sultan Agung dalam upaya memperluas wilayah Kerajaan Mataram,memerintahkan seorang punggawa kerajaannya yang sakti bernama Ki AgengCempaluk dengan menebang hutan Alas Roban dan sekaligus memusnahkan paraperampok di hutan tersebut.

Alas Roban ini nantinya akan dijadikan lahan persawahan yang selain untuk pertanian bagi masyarakat, juga untuk mencukupi kebutuhan bahan makanan bagi prajurit Mataram yang sedang berperang melawan Belanda (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan 1984). Punggawa kerajaan yang telah mendapatkan perintah dari Sultan Agung tersebut kemudian memerintahkan anak buah sekaligus muridnya yang bernama Joko Bahu atau Bahurekso. Pelaksanaan tugas dimulai dengan penebangan hutan, dan pembuatan bendungan di sungai Lojahan. Bendungan di sungai Lojahan tersebut digunakan untuk mengairi persawahan di daerah tersebut. Tetapi dalam melaksanakan tugas tersebut Bahurekso mendapat perlawanan dari perampok.Pertempuran sama-sama kuatnya di kedua belah pihak dan tidak ada yang terkalahkan. Tapi dengan perlawanan yang kuat, akhirnya Bahurekso berhasil mengalahkan para perampok tersebut (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).Setelah perlawanan Bahurekso selesai kemudian mulai melanjutkan penebangan hutan dan dilakukan dari arah timur yaitu mulai daerah Subah ke Barat hingga ke Sungai Lojahan.

Di Sungai tersebut kemudian dibangun sebuah bendungan yang digunakan untuk menampung dan mengalirkan air sungai tersebut ke daerah yang baru saja ditebang pohonnya, sehingga lahan tersebut menjadilahan yang siap tanam. Pada waktu Bahurekso membangun bendungan di Sungai Lojahan, pernah bersemedi di tepi Sungai ini pada hari Jumat Kliwon, dengan maksud agar proses pembuatan bendungan di tepi sungai tersebut berhasil.Peristiwa itulah yang kemudian dikenal dengan nama sungai Kramat, karena sungai tersebut dipercaya mempunyai hal yang berbau keramat (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).Menurut Bapak Basuki yaitu salah satu informan dalam penelitian ini,menyatakan bahwa Bahurekso adalah seorang yang memberi nama daerah Batang. Ada beberapa versi mengenai alasan dalam pemberian nama Batang. Versi pertama adalah menurut Bapak Basuki bahwa nama Batang diambil dari kata Ngembat, karena pertempuran antara Bahurekso dan para perampok yang sama sama kuatnya atau tidak ada pemenangnya alias ngembat dan akhirnya berubah menjadi Batang. Versi yang kedua adalah menurut buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang yang tidak diterbitkan, bahwa kata Batang berawal dari kata Ngembat Watang2 yang ceritanya berawal dari ketika Bahurekso sedang melaksanakan pembangunan bendungan di sungai Lojahan terdapat kayu besaratau watang yang melintang di sungai tersebut sehingga pembuatan bendungan mengalami sedikit kesulitan. Kemudian Bahurekso melakukan semedi atau untuk mendapatkan kekuatan gaib. Setelah bersemedi segeralah Bahurekso menuju kepohon watang yang melintang tersebut dan mengangkat serta mematahkan kayu tersebut atau dikenal dengan istilah ngembat watang.

Melalui kejadian tersebut maka daerah di tempat Bahurekso melakukan pembangunan tersebut kemudian dikenal dengan nama Batang hingga sampai sekarang ini menjadi Kabupaten Batang (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).Batang kemudian menjadi suatu daerah walaupun tidak besar, tidak ada sumber yang menyebutkan bagaimana mengenai Bahurekso. Namun beliau dianggap sebagai leluhur masyarakat Batang. Pada suatu ketika ada seorang keturunan Sunan Sendang (Sayid Nur atau Raden Nur Rachmat) dari desa Sendang Dhuwur di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur yang bernama Pangeran Alit atau dikenal dengan sebutan Raden Joko Cilik mendapatkan wangsit dalam mimpinya agar ia pergi ke barat Alas Roban untuk melaksanakan dakwah.Kemudian beliau berangkat ke Batang.

Batang termasuk wilayah dari Karajaan Mataram maka sebelum berangkat beliau minta ijin kepada wakil Raja Mataram di Ngembat Watang adalah batang pohon yang melintang di sungai Lojahan Jepara untuk membangun daerah Batang (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).Pada saat itu Batang di bawah kekuasaan Bupati yang bernama Pangeran Mandurejo. Kemudian Pangeran Joko Cilik dijadikan pejabat Bupati di Batang untuk membantu pemerintahan Kabupaten Batang. Pangeran Mandurorejo tidak langsung memerintah Batang, karena dalam kesehariannya beliau mendampingi Sultan Agung di Kerajaan Mataram. Pengeran Madurorejo selain menjadi Bupati pertama di Batang, beliau juga panglima perang Sultan Agung saat menyerang VOC di Betawi. Pelaksanaan pemerintahan Kabupaten Batang dipercayakan kepada Raden Joko Cilik hingga masa pemerintahan Bupati ke II yaitu Kanjeng Ratu Batang (Sekar Ayung atau Putri Prahila) yang merupakan putri dari Pangeran Madurorejo.Saat menjadi pejabat Bupati tersebut, beliau juga menjadi pendahulu Batang dankerap menjadi imam Masjid Agung Batang, di mana beliau juga ikut andil dalam pembuatan masjid tersebut (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984)